Jurnal Humaniora (Lemlit UNY)
Volume 14, Nomor 2, Oktober 2009
Halaman 99 - 112
PRAKTIK POLITIK UANG DALAM PEMILIHAN KEPALA DESA
(Studi di Desa Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura)
Oleh Halili
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk; pertama, menemukan pola-pola praktik politik uang dalam Pilkades di Pakandangan Barat Bluto Sumenep Madura, dan kedua, menganalisis pengaruh penggunaan politik uang terhadap partisipasi politik dalam Pilkades di desa tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif dengan pendekatan naturalistik. Subjek penelitian ditentukan dengan teknik purposive. Subjek berupa paper digunakan sebagai sumber data sekunder sesuai dengan tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data; wawancara mendalam dan dokumentasi. Teknik pengujian keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Teknik analisis data meliputi tahap; reduksi data, display data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi.
Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, pola praktik politik uang meliputi: komponen pelaku, strategi, dan sistem nilai yang menggerakkannya. 1) Aktor praktik politik uang dapat dikategorikan pada dua bagian; yakni pelaku langsung (direct actor) dan pelaku tidak langsung (indirect actor) 2) Politik uang dalam Pilkades berlangsung: a) dengan cara membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon Kades lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara, b) menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk membagikan uang, c) serangan fajar, dan d) penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon Kepala Desa, yaitu bandar/pemain judi. 3) Dari aspek nilai, fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama antara publik atau masyarakat bawah (demos) dan para elit politik di desa, yaitu nilai non demokratis. Kedua, praktik politik uang yang berlangsung secara ekstensif meningkatkan partisipasi formal pemilih. Namun demikian partisipasi tersebut bersifat semu (pseudo-participation) sebab nir-rasionalitas. Ketiga, perlu diikhtiarkan implementasi demokrasi yang lebih kontekstual bagi masyarakat desa. Misalnya model demokrasi deliberatif, yang dikembangkan dari tradisi pemikiran demokrasi komunitarian.
Kata kunci: politik uang, pilkades, demokrasi
Pendahuluan
Desa merupakan satuan pemerintahan terkecil yang melaksanakan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat. Di samping itu, desa juga merupakan wadah partisipasi rakyat dalam aktivitas politik dan pemerintahan. Desa
seharusnya merupakan media interaksi politik yang simpel dan dengan demikian sangat potensial untuk dijadikan cerminan kehidupan demokrasi dalam suatu masyarakat negara.
Prinsip-prinsip praktek politik demokratis dapat dimulai dari kehidupan politik di desa. Unsur-unsur esensial demokrasi dapat diterjemahkan dalam pranata kehidupan politik di level pemerintahan formal paling kecil tersebut. Menurut Robert Dahl, terdapat tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni; 1) kompetisi, 2) partisipasi, dan 3) kebebasan politik dan sipil (Sorensen, 2003: 19).
Dinamika dan konstelasi politik di desa memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut antara lain ditunjukkan dalam prosesi pemilihan kepala desa (Pilkades) yang jauh dari hiruk pikuk dunia kepartaian. Dalam kejumudan yang dihadapi masyarakat dengan tidak sehatnya kehidupan kepartaian di Indonesia, baik oleh karena tidak berjalannya fungsi-fungsi ideal kepartaian termasuk rekrutmen politik maupun ketidakmampuan elit di dalamnya dalam mengartikulasi kepentingan sebagian besar rakyat, seharusnya masyarakat dapat menemukan alternatif lain dalam melaksanakan demokrasi prosedural melalui pemilihan Kepala Desa.
Ekspektasi atas sehatnya Pilkades sebagai wahana demokratisasi atau konsolidasi demokrasi sangat besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada perhelatan Pilkades di Desa Naggrak Bogor menyatakan bahwa kehidupan demokrasi yang baik sebenarnya bisa dimulai dengan pelaksanaan demokrasi di desa melalui pemilihan kepala desa atau Pilkades. Asalkan, pilkades di desa itu dapat dijalankan dengan langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil (Kompas, 11 Maret 2007). Bahkan pada masa menguatnya desakan perubahan Pemilihan Presiden dari Pemilihan dalam lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke Pemilihan Presiden langsung, Pilkades seringkali menjadi referensi. Ruang publik seringkali dihiasi dengan statemen semacam ini: “..Kalau Pilkades saja sangat demokratis dengan pemilihan secara langsung, masak pemilihan presiden tidak berani secara langsung?!”.
Salah satu tantangan besar demokratisasi dalam lingkup desa adalah merebaknya politik uang (money politics) dalam Pilkades. Di beberapa daerah fenomena demikian tampak benderang. Seorang calon kepala desa atau kades tertangkap tangan sedang melakukan praktik politik uang menjelang
pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawungangten, Kabupaten Cilacap (Kompas Jawa Tengah, 2 Maret 2007). Tidak saja dilakukan oleh calon Kades, disinyalir ada keterlibatan bandar judi dalam praktek politik uang. Dalam penyelenggaraan Pilkades, bandar judi dari sekitar desa akan berdatangan untuk meramaikan pasar taruhan dan kalau mungkin ikut mempengaruhi hasil pemilihan (Kompas, 8 Maret 2007).
Fenomena negatif demikian muncul dalam transisi demokrasi di Indonesia. Secara teoretik, John Markoff (2002: 206) mengindikasikan adanya fenomena hybrid dalam demokrasi pada masa transisi. Ada percampuran elemen-elemen demokratis dengan elemen-elemen non demokratis yang dapat ditemui secara bersamaan dalam sebuah sistem politik.
Larry Diamond (2003: 16-17) memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia sebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). Indikatornya, mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi hakiki. Politik uang (money politics) merupakan salah satu fenomena negative mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang belum matang, seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.
Beberapa waktu yang lalu, Desa Pakandangan Barat Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep (selanjutnya disebut Pakandangan Barat) mengadakan Pilkades. Dalam studi permulaan, ditemukan indikasi penggunaan politik uang dalam Pilkades tersebut. Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai strategi yang digunakan dalam politik uang dan dampaknya bagi partisipasi politik masyarakat di sana. Artikel ini bermaksud menyajikan telaah mengenai dua hal tersebut.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif dengan pendekatan naturalistik. Sumber data yang digunakan adalah jenis person dan paper. Penentuan subjek penelitian berupa person dilakukan dengan teknik purposif, dengan kriteria: 1) Penduduk tetap di desa tempat penelitian dilaksanakan, 2) Memiliki hak pilih dalam Pilkades, 3) Menggunakan hak pilih dalam Pilkades. Informan penelitian ini sebanyak 10 orang, yang berasal dari berbagai dusun di Pakandangan, yaitu Dusun Tegal, Pesisir, Jeruk, Brumbung, dan Sumber
Nangka. Subjek berupa paper digunakan sebagai sumber data sekunder sesuai dengan tujuan penelitian, antara lain: Data Monografi Kecamatan Bluto dan LPJ Panitia Pilkades Pakandangan Barat. Metode pengumpulan data; wawancara mendalam dan dokumentasi. Metode pengujian keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Teknik analisis data meliputi tahap; reduksi data, display data, pengambilan kesimpulan dan verifikasi.
Pola Praktik Politik Uang dalam Pilkades
Desa sebagai unit pemerintahan terendah yang berhadapan langsung dengan rakyat dan diharapkan dibangun di atas format demokrasi (Syamsuddin Haris, 2004: 1). Di sisi lain, praktik politik uang dalam Pemilihan Kepala Desa merupakan realitas sosial dan politik yang memiliki pola (pattern). Dalam prosedur politik dan demokrasi di aras rakyat, berlangsung sebagai sebuah “kebiasaan” dan kewajaran.
Pola politik uang dalam Pilkades bisa didekati secara objektif melalui pembacaan atas komponen-komponennya antara lain komponen pelaku, strategi, dan sistem nilai yang menggerakkannya.
Aktor praktik politik uang dapat dikategorikan pada dua bagian; yakni pelaku langsung (direct actor) dan pelaku tidak langsung (indirect actor). Pelaku langsung politik uang dalam Pilkades terdiri dari Tim Sukses Calon Kades dan Bandar judi. Sedangkan pelaku tidak langsung terdiri dari Calon Kepala Desa dan Bandar/Pemain judi.
Pelaku langsung politik uang terjun langsung ke lapangan dengan membagi-bagikan sejumlah uang kepada beberapa kelompok sasaran. Tim Sukses ini dibentuk oleh Calon Kepala Desa. Kepentingan orang-orang yang tergabung dalam Tim Sukses ini beragam. Antara lain kepentingan sangat materialistis, seperti harapan imbalan sejumlah uang yang tidak selalu dalam nominal besar. Bahkan seorang responden/informan penelitian ini menyatakan bahwa dia mendapatkan uang hanya sebesar 20.000 sebagai “imbalan” untuk aktivitas menyukseskan pemenangan calon Kades tertentu.
Di samping itu, juga ada motivasi pragmatis dalam jangka lebih panjang, antara lain; agar yang bersangkutan beserta keluarganya dimudahkan dalam urusan-urusan formal di desa seperti pengurusan akta atau sertifikat tanah. Lebih
jauh lagi, mereka juga merapat ke lingkaran dalam calon penguasa politik desa agar mendapatkan keuntungan-keuntungan (benefits) dalam jangka lebih panjang, seperti keterlibatan dalam proyek-proyek desa (pembuatan baru, pengaspalan, dan lain-lain).
Calon Kades merupakan pelaku tidak langsung yang sangat mempengaruhi maraknya politik uang dalam Pilkades. Calon Kades menyediakan sejumlah uang yang kemudian dicairkan kepada anggota Tim Sukses untuk dibagi-bagikan kepada warga. Sumber dana yang dimiliki oleh Calon Kades bisa jadi berasal dari Calon Kades itu sendiri, dan dapat juga berasal dari orang kaya yang “meminjamkan” sejumlah uang untuk membeli suara warga dengan “imbalan” komitmen dari Calon Kades untuk melindungi kepentingan-kepentingan bisnis dan keamanan insaniah (business and human security) si orang kaya tersebut.
Satu lagi aktor yang menempatkan uang menjadi faktor yang menempatkan uang sebagai dorongan yang sangat menentukan pilihan pemilih dalam Kepala Desa adalah Bandar atau pemain judi. Mereka menggelontorkan uang untuk pemenangan calon Kades yang dipilihnya dalam aktivitas perjudian. Mereka berani mengeluarkan uang untuk memastikan kemenangannya dalam maen, selama masih dalam rasio costs-benefits yang menguntungkannya.
Pada aspek strategi, politik uang dalam Pilkades berlangsung dalam beberapa strategi. Pertama, dengan cara membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon Kades lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara.
Atas strategi permainan uang seperti ini dapat dikemukakan dua kemungkinan penggunaan kartu; kartu dibiarkan tidak digunakan atau kartu suara dicobloskan oleh panitia atau “orangnya” calon Kades yang membeli suara. Dua kemungkinan ini mengindikasikan rendahnya netralitas dari Panitia Pemilihan Kepala Desa.
Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk mencairkan dana yang bahasa mereka uang tersebut sebagai uang saku, dengan besaran antara 10.000 sampai 30.000. Para anggota tim sukses bisa mendapatkan lebih dari itu. Strategi ini digunakan kepada dua sasaran; 1) pemilih netral yang belum menentukan pilihan, dan 2) pemilih potensial.
Ketiga, serangan fajar. Strategi penyodoran uang sebelum atau pada saat fajar menyingsing pas hari pencoblosan dilakukan oleh anggota Tim Sukses dengan sasaran warga yang kemungkinan besar pendukung calon Kades lawan. Dengan nominal yang lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan oleh calon Kades lawan, diharapkan pendukung calon Kades lawan berubah pikiran dan mengalihkan dukungan kepada calon Kades yang bersangkutan, atau paling tidak menggunakan hak pilihnya sehingga potensi suara calon Kades lawan berkurang.
Keempat, penggelontoran uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon Kepala Desa. Strategi ini bertujuan untuk pemenangan satu calon tertentu, yang menjadi pilihan penggelontor uang dalam sebuah aktivitas perjudian. Permainan uang seperti ini ikut mempengaruhi preferensi politik warga dalam arena Pilkades.
Permisivitas publik atas permainan uang dalam Pilkades sangat mengakar. Sehingga sebagian besar masyarakat tidak mempersoalkan bahwa politik uang merupakan faktor negatif yang mendestruksi tatanan prosedur demokrasi. Thus, fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama antara publik atau masyarakat bawah (demos) dan para elit politik di desa, yaitu nilai non demokratis, yang meruntuhkan tidak saja demokrasi prosedural (procedural democracy), akan tetapi juga menyulitkan perwujudan demokrasi hakiki (substantive democrarcy).
Politik uang yang berlangsung ekstensif menunjukkan bahwa voluntarisme atau kesukarelawanan politik Weberian yang mengidealkan politik sebagai profesi sejati atau sebagai panggilan jiwa (politics as beruf atau politics as calling) belakangan sama sekali tidak tampak dalam pemilihan Kepala Desa. Kegotongroyongan sebagai sendi utama konstruksi sosio-kultural dalam masyarakat desa gagal ditransformasi secara linear dalam even politik bernama Pilkades.
Praktek politik uang di dalam Pilkades tidak saja mengamini fenomena menipisnya voluntarisme politik sebagai fenomena jamak dalam konteks politik yang lebih luas, akan juga merupakan fenomena degradasi kualitas demokrasi di tingkat desa. Dalam konteks sosio-historis, demokrasi desa, menurut Heru Cahyono (2006) merupakan demokrasi asli yang sudah terbentuk sejak dahulu, sebelum negara Indonesia berdiri, bahkan pada masa kerajaan sebelum era
kolonial Hindia Belanda. Banyak sekali praktek-praktek demokrasi yang sudah berlangsung lama di ranah desa.
Dalam konteks masyarakat desa Pakadangan Barat, politik uang dalam Pilkades merupakan fenomena baru. Permainan uang untuk membeli suara pemilih berlangsung kira-kira setelah keterbukaan politik di Republik ini dibuka krannya pada tahun 1998. Pergeseran prosedur demokrasi di desa belakangan, merupakan degradasi yang jauh bila dibandingkan dengan praktik politik di desa ini sebelumnya.
Pada masa-masa yang lalu, Pilkades di Pakandangan Barat merupakan demokrasi khas desa. Rakyat melibatkan diri dalam even Pilkades secara sukarela. Bahkan, mereka menyumbangkan apa saja yang mereka dapat sumbangkan untuk pencalonan tokoh masyarakat yang mereka percayai dan untuk kesuksesan penyelenggaraan Pilkades.
Implikasi Politik Uang terhadap Partisipasi Pemilih dalam Pilkades
Salah satu elemen dasar demokrasi di berbagai levelnya adalah partisipasi publik. Pelembagaan peran Negara dan institusi-institusi demokrasi di dalamnya, di satu sisi merupakan hal indikator demokrasi. Di sisi yang lain, dibutuhkan peran serta publik sebagai konstituen dan representee dalam penyelenggaraan institusi-institusi formal demokrasi. Prinsip partisipasi meniscayakan adanya kesempatan yang terbuka dan merata bagi keterlibatan setiap anggota masyarakat atau negara. Keterlibatan sukarela warga negara atau masyarakat akan memberikan legitimasi politik bagi pemerintahan desa. Patisipasi politik yang ideal didasarkan pada political literacy yang mendorong kepada keinginan untuk ikut serta mendorong dinamisasi proses politik. Partisipasi tersebut tidak dikoersi oleh paksaan yang hard (seperti tekanan fisik dan intimidasi) maupun paksaan yag soft (semisal mobilisasi dengan politik uang).
Aras ideal ini berlangsung sebaliknya dalam Pilkades. Sebagaimana dinyatakan di muka, politik uang berlangsung begitu massif. Hal itu berdampak pada tingginya partisipasi formal pemilih dalam Pilkades. Angka partisipasi 85% jelas angka yang luar biasa dalam konteks even politik di Republik Indonesia. Bandingkan misalnya dengan berbagai Pemilihan Kepala Daerah yang belakangan menuai angka golongan putih hingga 40-an %.
Tingginya partisipasi politik dalam Pilkades merupakan fenomena yang banyak ditemui di berbagai daerah di Indonesia. Laporan Kompas tanggal 23 Mei 2007 (http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0705/23/174856.htm, diunduh pada tanggal 30 Oktober 2008) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat pelaksanaan pemilihan kepala desa serentak tahap pertama di 130 desa Kabupaten Lamongan Jawa Timur mencapai 82,4 persen. Data Bagian Pemerintahan Kabupaten Lamongan menunjukkan dari 231.804 warga yang memiliki hak pilih, ikut mencoblos 190.997.
Hal itu oleh oleh berbagai kalangan disambut baik. Tingginya angka partisipasi warga itu dipandang sebagai indikator tingginya tingkat kesadaran mereka untuk ikut menentukan pembangunan desanya.
Data mengenai politik uang dalam Pilkades di Pakandangan Barat memberikan perspektif yang lain. Partisipasi pemilih dalam Pilkades sangat terkait dengan uang yang mereka terima. Pemberian uang oleh calon Kades kepada pemilih dipandang sebagai keharusan untuk datang ke bilik suara pada hari pencoblosan dan memilih calon Kades yang member uang atau calon Kades yang memberi uang lebih besar.
Dengan demikian, rasionalitas pemilih layak dipertanyakan. Program-program yang ditawarkan oleh Calon Kades sama sekali tidak dipertimbangkan. Dari data para informan, preferensi pemilih atas calon Kades tertentu berkorelasi dengan nominal uang yang dibagikan kepada pemilih. Integritas dan tawaran program dari Calon Kades merupakan pertimbangan ke sekian.
Partisipasi politik yang ditunjukkan dalam angka penggunaan hak plih dalam Pilkades merupakan partisipasi semu. Partisipasi demikian akan melahirkan apa yang disebut Larry Diamond sebagai demokrasi semu (pseudo democracy), dimana keberadaan mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi sebenarnya (hakiki). Simbol-simbol demokrasi (misalnya prosedur electoral) mengandung elemen-elemen yang hakikatnya penyelewengan terhadap demokrasi.
Fenomena ini juga persis dengan apa yang digambarkan dalam teori transisi demokrasi John Markoff, yang menyatakan bahwa dalam situasi transisi (di Indonesia transisi tersebut berlangsung sangat lama, sejak Mei 1998) berlangsung apa yang disebutnya sebagai demokrasi hybrid, dimana mekanisme
demokrasi berlangsung secara bersama-sama dengan praktek-praktek non demokratis.
Melihat fenomena politik uang dalam Pilkades tersebut, jelas diperlukan berbagai telaah lebih mendalam mengenai demokratisasi desa. Meski sarat persoalan di satu sisi, demokratisasi desa di sisi lain merupakan keharusan untuk membangun kesejahteraan komunal di level rakyat paling bawah tersebut.
Menurut Sutoro Eko (www.ireyogya.com, diunduh pada tanggal 1 November 2008) demokratisasi desa dibutuhkan dengan beberapa argumentasi. Pertama, orang desa sudah lama sekali ditipu oleh para pemimpinnya karena tidak ada demokrasi. Kedua, gagasan mengenai pemimpin “ratu adil” yang sering dimitoskan di level masyarakat desa tidak akan pernah terjadi di dunia nyata. Pemegang kekuasaan haruslah tetap diwaspadai sebagaimana ajaran Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Ketiga, orang desa sudah lama memelihara pikiran linear serta sikap yang pragmatis dan konservatif. Mayarakat desa seringkali berpikir sederhana. Fokus mereka kecukupan dalam hal pangan, sandang dan papan. Apa dan bagaimana di balik itu tidak banyak dipersoalkan Warga desa sangat puas dan bangga pada pemimpinnya yang berhasil membangun sarana fisik desa meskipun harus ditempuh dengan mobilisasi dana dan tenaga mereka.
Dengan sudut pandang demikian, demokratisasi sangat dibutuhkan di tingkat desa. Bangunan demokrasi tersebut tidak saja berangkat dari prosedur yang ditegakkan melalui mekanisme eksternal yang ditawarkan dari luar desa, akan tetapi juga mekanisme internalnya, semisal komponen kultur demokratis.
Sistem demokrasi menurut peneliti politik LIPI, Syamsuddin Haris (2004: 1), tidak bisa bekerja tanpa kemampuan Negara menegakkan supremasi hukum di satu pihak, dan kultur demokratis (dari masyarakat dan elitnya) di pihak lain. Di antara persoalan terbesar bangsa Indonesia dewasa ini mencakup sekurang-kurangnya dua hal tersebut, yakni kegagalam Negara menegakkan supremasi hukum dan belum terbangunnya kultur dan tradisi demokratis.
Praktik politik uang dalam mekanisme elektoral di desa harus diatasi dengan paling tidak mempertanyakan apakah ikhtiar membangun demokrasi liberal ala Barat relevan untuk kultur masyarakat kita di desa. Prosedur-prosedur demokrasi tidak tunggal. Implementasinya dipengaruhi banyak hal, di antaranya kultur dimana demokrasi diterapkan.
Prosedur demokrasi diterapkan secara bervariasi yang berangkat dari tradisi pemikiran demokrasi yang berbeda. Tradisi demokrasi liberal Barat tentu tidak bisa sepenuhnya diterapkan secara total dalam bangunan masyarakat Indonesia yang sama sekali berbeda. Dalam konteks desa, Sutoro Eko (2008) menawarkan tradisi pemikiran demokrasi yang barangkali lebih pas dengan konstruksi masyarakat desa, yaitu demokrasi komunitarian.
Aspek Liberal Komunitarian
Sumber
Tradisi liberal ala Barat
Komunitarian ala masyarakat lokal
Basis
Individualisme
Kolektivisme
Spirit
Kebebasan individu
Kebersamaan secara kolektif
Wadah
Lembaga perwakilan, partai politik dan pemilihan umum
Komunitas, commune, rapat desa, rembug desa, forum warga, asosiasi sosial, paguyuban, dll
Metode
Voting secara kompetitif
Musyawarah
Model
Demokrasi perwakilan
Demokrasi deliberatif
Sumber: Dimodifikasi dari http://www.ireyogya.org/ire.php?about= komunitarian.htm, diunduh pada tanggal 24 November 2008
Tabel. Komparasi Tradisi Demokrasi Liberal dan Komunitarian
Demokrasi komunitarian berbeda sama sekali dengan demokrasi dalam tradisi pemikiran liberal. Demokrasi komunitarian merupakan kritik atas demokrasi liberal ala Barat yang dinilai sebagai bentuk hegemoni universal yang mengidealkan penyeragaman praktek demokrasi prosedural di seluruh dunia.
Tradisi komunitarian memaknai demokrasi secara partikularistik dengan memperhatikan keragaman budaya, struktur sosial, sistem ekonomi dan sejarah setiap negara. Penganut komunitarian yakin bahwa rakyat selalu berada dalam ikatan komunal ketimbang individualistik. Kaum komunitarian memang menaruh perhatian pada otonomi individu seperti kaum liberal, namun yang ditonjolkan bukan kebebasan individu tetapi penghargaan pada otonomi individu serta pemberian kesempatan pada setiap individu untuk memaksimalkan aktualisasi diri dalam ikatan kolektif.
Model demokrasi deliberatif, menurut Sutoro Eko, merupakan bentuk ekstrem demokrasi prosedural yang dijiwai oleh tradisi komunitarian. Demokrasi deliberatif berbeda sama sekali dengan demokrasi perwakilan (representative
democrarcy) dan demokrasi langsung (direct democracy) hal penentuan pemimpin dan mekanisme pembuatan keputusan. Penganjur demokrasi deliberative menekankan, mekanisme penentuan pemimpin dan pembuatan keputusan dilakukan dengan cara partisipasi warga secara langsung, bukan melalui voting atau perwakilan, melainkan melalui dialog, musyawarah dan pengambilan kesepakatan.
Model demokrasi seperti ini memungkinkan partisipasi hakiki, dalam skala yang lebih luas. Model ini juga menghindari semaksimal mungkin terjadinya oligarki elite dalam pengambilan keputusan. Demokrasi deliberatif juga menghindari kompetisi individual memperebutkan posisi pemimpin dalam proses pemilihan (voting) langsung, sehingga akan mengurangi juga praktek-praktek penyelewengan seperti kekerasan, politik uang, KKN dan lain-lain.
Kesimpulan
Dari pembahasan terdahulu mengenai pola praktik uang dalam Pemilihan Kepala Desa, dapat diambil beberapa poin kesimpulan: Pertama, praktik politik uang dalam Pilkades memiliki pola yang meliputi komponen pelaku, strategi, dan sistem nilai yang menggerakkannya. Kedua, praktik politik uang yang berlangsung secara ekstensif meningkatkan partisipasi formal pemilih, namun demikian partisipasi tersebut bersifat semu (pseudo-participation) sebab nir-rasionalitas. Tidak tampak voluntarisme politik. Politik ongkos mahal berlangsung untuk memborong suara pemilih. Fenomena tersebut melanggengkan berlangsungnya pseudo-democracy dan demokrasi hybrid. Ketiga, perlu diikhtiarkan implementasi demokrasi yang lebih kontekstual dalam masyarakat desa.
DAFTAR PUSTAKA
Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press
Emmanuel Subangun. Pilkades, Pemilu, dan Dengue . Opini. Kompas, 8 Maret 2007
Heru Cahyono. 2006. Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca 1999. Jakarta: LIPI
Irine H. Gayatri. 2008. Demokrasi Lokal (di Desa): Quo Vadis?. http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/demokrasi_lokal_di_desa.html. Diunduh tanggal 19 Oktober 2008.
Kompas Jawa Tengah. Tertangkap Tangan Politik Uang, Calon Kades Gugur. 2 Maret 2007
Kompas Cyber Media. Partisipasi Masyarakat dalam Pilkades 82,4 persen. 23 Mei 2007. http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0705/23/174856.htm. Diunduh pada tanggal 30 Oktober 2008
Kompas. Pilkades Bisa Jadi Contoh Pelaksanaan Demokrasi. 11 Maret 2007
Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia Gerakan Sosial dan Perubahan Politik (terj.). Yogyakarta: CCSS bekerjasama dengan Pustaka Pelajar
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan demokratisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sama dengan CCSS
Sutoro Eko. 2008. Revitalisasi Demokrasi Komunitarian. http://www.ireyogya.org/ ire.php?about=komunitarian.htm. Diunduh pada tanggal 24 November 2008
Syamsuddin Haris. 2004. Demokrasi Desa, Perlukan Diatur?. Kertas Kerja LIPI. Tidak diterbitkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar